Jumat, 25 April 2014

Pengobatan HIV/AIDS


Obat Antiretroviral

Obat antiretroviral adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama HIV. Kelas obat antiretroviral yang berbeda berjaman pada stadium lingkaran kehidupan HIV yang berbeda. Kombinasi beberapa obat antiretroviral diketahui sebagai terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART).
Organisasi seperti National Institutes of Health Amerika Serikat merekomendasikan penawaran perawatan antiretroviral untuk semua pasien dengan AIDS, tetapi, karena kerumitan untuk memilih dan mengikuti sebuah aturan, adanya efek samping, dan kepentingan untuk mencegah virus melawan perawatan ini, organisasi seperti itu menekankan kepentingan pilihan pasien yang ikut serta dalam terapi dan merekomendasikan menganalisis risiko dan potensi terhadap pasien tanpa gejala.


Obat Prezista

Harapan Baru Bagi Penderita Aids 

dan Anti Retroviral Anti Aids


Dunia selalu dicemaskan dengan virus yangbernama HIV/AIDS. Betapa tidak, virus ini menyerang manusia tanpa bisa terdeteksi dan baru dapat terasa jika sudah menginjak stadium lanjut yang parah dan berujung pada kematian.Disaat penyebaran virus HIV/AIDS yang sangat mematikan sudah sangat menyebar ke berbagai pelosok negara, kota bahkan desa, sampai saat ini pun belum ditemukan obat yang benar-benar dapat menyembuhkan penyakit yang menyerang kekebalan tubuh manusia tersebut.
Obat-obatan yang ada sekarang sifatnya hanya memperlambat proses penyebaran didalam tubuh si penderita, namun sama sekali tidak menyembuhkan secara tuntas. Disamping kelemahan tersebut, harganya yang relatif mahal, sulit untuk dijumpai, dan mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi dalam proses menahan penyebaran virus tersebut. Apalagi setelah diketahui bahwa obat-obatan tersebut memiliki efek samping bagi para peminumnya.
Para peneliti dan ilmuwan dari University of California Los Angeles (UCLA) dan Purdue University di Indiana, Amerika Serikat (AS), telah menemukan petunjuk baru tentang efek samping obat anti-AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome ) yang digunakan secara luas, yakni menimbulkan penimbunan lemak.
Laporan ilmiah yang dikeluarkan jurnal Proceedings of the National Academy of Science (16/7/2007), melaporkan, protease inhibitors, komponen penting dalam campuran obat HIV, ternyata dapat membantu mengendapkan lemak yang sering kali membuat pasien lemah. Di samping itu, protease inhibitors juga menyebabkan terjadinya penuaan dini.
Para ilmuwan Amerika tersebut meneliti efek protease inhibitors pada sel tikus dan manusia. Hasilnya menunjukkan zat tersebut mengendap dan membentuk gumpalan protein yang disebut dengan prolamin A. Hal itu disebabkan gerakan protein lainnya yang diberi nama ZMPSTE24 tidak mampu mengubah prolamin A menjadi zat yang bermanfat bagi tubuh.
Christine Hrycyna dari Purdue University, salah seorang ilmuwan yang ikut dalam penelitian, mengatakan bahwa protease inhibitors dapat mengakibatkan gangguan metabolisme seperti penimbunan lemak di dalam darah, tekanan darah tinggi, dan meningkatnya risiko diabetes. Zat tersebut juga memicu kondisi yang disebut dengan lipodystrophy atau pembagian lemak pada anggota tubuh, seperti punggung, tengkuk, dan pipi. Kasus semacam itu sering disebut dengan buffalo hump .
Kesimpulan para ilmuwan itu juga berdasarkan pada kondisi puluhan ribu pasien HIV( Human Immunodeficiency Virus ) yang mengonumsi obat anti-HIV yang mengandung protease inhibitors di seluuh dunia. Bahkan, para pasien itu mengalami penuaan dini akibat efek zat tersebut atau sering disebut dengan istilah Hutchinson-Gilford progeria . Pasien menjadi tampak lebih tua dari usia sebenarnya. “Efek samping ini barangkali bukan hanya disebabkan oleh satu kondisi sederhana,” ungkap Hrycyna.
Para peneliti tersebut juga menguji coba sebagian obat lain yang biasa digunakan dalam campuran obat AIDS, yang dikenal sebagai terapi antiretroviral (ARV) yang sangat aktif, atau dikenal dengan nama HAART. Hanya obat tersebut yang tidak menimbulkan efek penimbunan protein. Untuk itu, para peneliti akan mencoba meneliti beberapa jenis obat yang biasa diberikan kepada penderita AIDS, untuk dibandingkan dengan hasil temuan mereka.
Obat anti HIV/AIDS bernama antiretroviral (ARV) ini kini menjadi bahan pembicaraan publik. Selain lebih aman daripada jenis obat anti HIV/AIDS pendahulunya, ARV ini dapat diproduksi secara generik sehingga Indonesia pun ikut tertarik untuk belajar memproduksinya di negeri sendiri.
Sebentar Lagi RI Bisa Bikin Obat HIV/AIDS !!!
Indonesia akan mampu memproduksi sendiri obat generik anti-virus HIV/AIDS sebagaimana dikenal dunia kedokteran dengan sebutan Anti-Retroviral (ARV) yang selama ini diimpor dari India. Kemampuan Indonesia memproduksi obat generik itu dimungkinkan menyusul kesediaan Thailand melakukan tranfer teknologi pembuatannya kepada Indonesia, kata dosen Fakultas Kedokteran UI Dr. Syamsuridjal di Canberra, Selasa (24/9).
September 2008 lalu ada pertemuan di Jakarta di mana pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama dengan Thailand guna mengembangkan produksi ARV. Proyek pembuatan ARV di Indonesia akan dilaksanakan perusahaan farmasi nasional Indo Farma, kata Syamsuridjal yang juga aktivis Yayasan Pelita Ilmu, sebuah yayasan yang memberikan dukungan moral serta terapi bagi sekitar 500 penderita infeksi HIV/AIDS di Indonesia.
Terapi infeksi HIV/AIDS dengan menggunakan ARV dinilai cukup efektif sehingga mampu mengurangi resiko kematian pasien. Selain angka kematian penderita HIV/AIDS dapat ditekan dan jumlah kunjungan mereka ke rumah sakit juga bisa dikurangi, kualitas hidup pasien HIV/AIDS dapat ditingkatkan sehingga mereka bisa produktif kembali.
Meskipun sangat efektif, penggunaan obat itu masih sangat terbatas karena harganya mahal yaitu sekitar senilai AS$10.000 setiap tahun pengobatan dengan pengunaan selama hidup. Tentu saja itu merupakan hambatan karena dari sekitar 40 juta orang penderita HIV/AIDS, sebenarnya 90% berada di Negara berkembang.
Tetapi belakangan kesempatan bagi negara berkembang untuk menggunakan ARV terbuka lebar karena obat itu bisa diproduksi dalam bentuk obat generik oleh India, Thailand, China Vietnam, Kuba dan Brasil. Jika diproduksi sendiri di Indonesia, harganya bisa ditekan hingga menjadi AS$300 (atau AS$25 perbulan). Kalau sekarang ini Indonesia masih mendatangkan obat generik itu dari luar negeri (India), maka nanti kita akan mampu memproduksi obat sendiri.
Hal ini memberikan harapan besar bagi penderita infeksi HIV/AIDS di Indonesia karena nantinya obat itu tidak saja bisa diperoleh di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan tetapi juga di daerah lainnya. Persoalan HIV/AIDS tidak bisa dikatakan selesai dengan ketersediaan obat itu sebab upaya menanggulangi HIV/AIDS juga tergantung kepada infrastruktur yang ada di wilayah masing-masing. Berarti kemampuan petugas kesehatan untuk menggunakan obat ini juga harus disediakan. Sebab, bagi kebanyakan dokter di Indonesia kasus infeksi HIV/AIDS masih hal baru.
Namun, hal itu hendaknya tidak dipandang sebagai hambatan karena perkembangan dunia kedokteran terus berkembang, di samping WHO juga bersedia membantu agar pelaksanaan pengobatan ini bisa menjangkau daerah pendalaman dengan fasilitas laboratorium sederhana.
Selain obat ARV, ada dua jenis obat lain yang dianggap sama efektifnya untuk mengurangi resiko kematian akibat virus mematikan ini.
Sebuah perusahaan bernama Jhonson and Jhonson Divisi Tibotec yang berhasil membuat obat bernama Prezista atau yang sering disebut juga Darunavir yang memberikan titik terang atau harapan bagi para penerita HIV/AIDS akut.
Obat Prezista ini memberikan harapan baru bagi para penderita yang selama ini meminum obat penghambat virus HIV/AIDS namun tidak mempunyai kemajuan yang berarti. Prezista sendiri telah mendapatkan persetujuan dari Badan Obat-obatan dan Makanan Amerika (U.S Food and Drug). Penelitian atas obat tersebut membuktikan bahwa 45% penderita HIV/AIDS yang mengkonsumsi Prezista selama 11 bulan mengalami penurunan jumlah virus didalam tubuh mereka bahkan sampai pada tahap tidak terdeteksi virus HIV. Bandingkan dengan obat lain dengan jangka waktu konsumsi yang sama hanya berhasil menurunkan konsentrasi virus HIV/AIDS hanya 10% dari sejumlah orang yang mengkonsumsinya.
Memang obat tersebut belum sampai pada tahap “menyembuhkan HIV/AIDS’ sama sekali, namun setidaknya hal ini memberikan semangat dan harapan dimasa depan, bahwa suatu saat nanti obat yang benar-benar menyembuhkan penyakit tersebut dapat segera ditemukan.
Satu Pil Sehari untuk Penderita HIV !!!
Saat ini, penderita HIV (AIDS) harus mengkonsumsi obat-obatan sebanyak dua hingga empat butir pil setiap harinya. Sedang kurang dari satu dekade lalu, obat yang harus diminum bisa mencapai 20 hingga 30 butir setiap harinya, yang harus diminum dalam waktu yang tepat sama dan dalam keadaan tertentu seperti diminum bersama dengan makanan. Hal ini yang kadang menyulitkan banyak pasien untuk taat dalam menjalaninya. Kemungkinan untuk lupa mengkonsumsi obat juga besar, sehingga membuat virus HIV menjadi rentan/kebal terhadap obat.Oleh karena itu, untuk mempermudah konsumsi obat untuk pasien HIV maka dua perusahaan obat telah berkolaborasi untuk berencana membuat obat yang hanya perlu diminum satu kali sehari. Dan diperkirakan sekitar pertengahan tahun 2006, sudah dapat dipasarkan.Dua perusahaan obat ini adalah Bristol-Myers Squibb Co. dan Gilead Sciences Inc., akan menggabungkan tiga macam obat HIV mereka yang telah banyak digunakan saat ini, yaitu obat Sustiva yang dibuat oleh Bristol-Myers Squibb dan dua obat HIV lainnya, Viread dan Emtriva, buatan Gilead Sciences.Kedua perusahaan ini akan berusaha menggabungkan ketiga macam obat ini menjadi satu buah obat yang mempunyai kemampuan penyerapan yang sama, efek yang saling menunjang, dapat bertahan lama dalam tubuh dan mempunyai waktu kadaluwarsa yang sama juga.Pil ini akan diperuntukkan untuk mereka yang telah didiagnosa HIV positif, tapi yang belum pernah mengkonsumsi obat HIV sebelumnya.



Obat ini kurangi risiko HIV/AIDS hingga 50 persen



Ahli kesehatan Amerika menyarankan penggunaan obat AIDS baru untuk orang-orang yang sering menyuntikkan narkoba seperti heroin dan methamphetamine. 

Setelah meninjau hasil studi yang dilakukan oleh PCentres for Disease Control and Prevention (CDC) dan pemerintah Thailand, pejabat kesehatan Amerika menyarankan bahwa tenofovir - obat pencegahan HIV/AIDS - harus dikonsumsi setiap hari oleh pengguna narkoba.

Sebagaimana dilansir CBS News, obat tersebut juga telah disetujui penggunaannya untuk para pria gay yang berisiko tinggi terkena AIDS dan pasangan heteroseksual. Untuk melakukan studi ini, para ilmuwan melibatkan lebih dari 2.400 pengguna narkoba di sebuah klinik di Bangkok, Thailand.

Setengah dari kelompok studi diberi dosis harian tenofovir, yang dijual sebagai Viread, sementara separuh lainnya diberi plasebo. Setelah mengikuti pasien selama empat tahun, para peneliti menemukan bahwa 17 orang yang mengonsumsi obat pencegahan tetap tertular HIV, sementara 33 orang yang memakai plasebo juga terinfeksi. Kesimpulannya, obat ini mengurangi risiko HIV/AIDS hingga 50 persen.

Dr Jonathan Mermin, direktur pencegahan AIDS untuk CDC, mengatakan kepada CBS News bahwa studi ini melengkapi hasil penelitian mereka tentang bagaimana obat HIV dapat melindungi orang yang berisiko tinggi terinfeksi. Tenofovir, obat yang digunakan dalam penelitian ini, harganya hanya USD 360 (Rp 3,4 juta) per tahun per pasien.

Para ilmuwan juga bekerja pada vaksin HIV, tetapi pemerintah Amerika baru-baru ini menghentikan uji coba vaksin eksperimental setelah kajian independen menemukan itu tidak mencegah infeksi HIV atau mengurangi jumlah HIV dalam darah.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar