Kamis, 24 April 2014

HIV/AIDS Pada PSK

Pekerja Seks Berperan Besar 
Dalam Penyebaran HIV/AIDS

DENPASAR - Pemerintah Provinsi Bali diminta untuk melibatkan para pekerja seks untuk lebih optimal dalam menanggulangi penyakit HIV/AIDS. Desakan itu disampaikan aktivis HIV/AIDS di Bali yang melihat sebagian besar penyebaran HIV berawal dari hubungan dengan pekerja seks.

Koordinator lapangan Yayasan Kerti Praja, Dewa Nyoman Suyetna dalam keterangannya di Denpasar mengatakan, saat ini di Bali terdapat sekitar 3.000 pekerja seks dan 20 persen di antaranya adalah positif HIV. Dalam satu tahun, jumlah pelanggan pekerja seks di Bali mencapai sekitar 80.000 orang. Sehingga pelibatan pekerja seks diharapkan dalam mengurangi penyebaran HIV melalui penggunaan kondom.

Menurut Suyetna, langkah lainnya yang juga dapat dilakukan adalah melalui pembentukan kelompok kerja (pokja) di lokasi-lokasi tempat pekerja seks tinggal. Pembentukan pokja yang melibatkan pekerja seks, mucikari dan aparat desa bertujuan untuk mempermudah melakukan penyuluhan dan pengecekan kesehatan secara rutin, ujarnya.

“Kita yang memberikan penyuluhan atau germonya yang memberikan penyuluhan. Kedua, mereka harus menyiapkan anak buahnya kalau ada penyuluhan. Ketiga, mereka harus menganjurkan anak buahnya untuk periksa IMS (infeksi menular seksual). Keempat, mereka harus menyediakan kondom dan menganjurkan pemakaiannya,” ujar Suyetna.

Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali jumlah kasus HIV/AIDS di Bali hingga Maret 2013 mencapai 7.551. Dari jumlah tersebut tercatat 76,9 persen penularannya melalui hubungan heteroseksual.

Sementara itu, hasil survei terhadap perilaku gay dan waria di Bali, yang dilakukan Yayasan Gaya Dewata selama Mei 2013 hingga Juni 2013 terhadap 400 gay dan waria di Bali, menunjukkan 85 persen gay dan waria di provinsi itu memiliki kesadaran untuk melakukan tes HIV/AIDS secara sukarela.

Direktur Yayasan Gaya Dewata Christian Supriyadinata mengatakan, meningkatnya kesadaran gay dan waria melakukan tes HIV di klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau klinik konseling dan tes sukarela karena tersediannya klinik VCT di seluruh rumah sakit dan beberapa puskesmas di Bali.

“Sekarang ini layanan di Bali sudah lumayan banyak, khususnya di Denpasar sudah banyak sekali ada layanan, tiap kecamatan ada termasuk puskesmas, terus rumah sakit semua ada layanan VCT, artinya mereka sudah tahu sudah sadar akhirnya memeriksakan diri,” ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Bali dr Ketut Suarjaya mengakui sedang berusaha memperluas layanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk merancang program pendidikan mengenai HIV/AIDS bagi pelajar di Bali.

“Tambahan pengetahuan tentang HIV sudah harus dimulai dari tingkat anak sekolah, itu pemahamannya harus mulai dari sana, sehingga ada suatu kurikulum khusus tentang HIV pada murid,” ujarnya. (voa/A-147)***

Sumberhttp://www.pikiran-rakyat.com




PSK Bali Sadar HIV/AIDS

DENPASAR -- Kesadaran akan penanggulangan HIV/AIDS di kalangan pekerja seks komersil (PSK) di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Bali, meningkat.

"Dulu kesadaran untuk memeriksakan diri HIV/AIDS sangat rendah, namun sekarang lebih mudah. Apalagi setelah KPA (Komisi Penanggulangan HIV/AIDS) memfasilitasi dan membentuk pokja," kata Pengelola Program Yayasan Kerti Praja Dewa Nyoman Suyetna di Denpasar, Senin (17/6).

Kelompok kerja itu dibentuk di tempat beroperasinya PSK dilengkapi dengan susunan pengurusnya yang biasanya di bawah koordinasi masing-masing mucikari. "Di Denpasar dan Kabupaten Badung setidaknya ada 11 pokja sejak terbentuk pertama kali pada 2009. Bos mucikari sekarang sangat kooperatif membantu penanggulangan HIV/AIDS. Kalau dulu, jangankan membagikan kondom, menyosialisasikan saja sulit," katanya.

Keberhasilan kerja sama KPA, Yayasan Kerti Praja, dan pokja dalam penanggulangan HIV/AIDS, lanjut Suyetna, dapat dilihat dari perilaku pekerja seks yang sejak pagi sudah mengantre untuk memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan.

"Dulu untuk pemeriksaan harus kami jemput, kami sediakan taksi, dan bahkan dari baru bangun kami gedor untuk periksa. Tak jarang sampai mandi kami tungguin dan biaya taksi yang dikeluarkan untuk penjemputan sampai Rp5 juta per bulan, sekarang kesadarannya luar biasa," tuturnya.

Dulu PSK tidak mau menerima pemberian kondom dari KPA. Namun sekarang para mucikari sampai menghubungi YKP untuk meminta kondom. "Para pekerja seks yang sudah positif terkena AIDS harus didampingi dengan ketat untuk minum ARV-nya. Jika tidak minum, maka virusnya akan naik menularkan jauh lebih mudah. Sedangkan kalau virusnya sudah ditekan dengan minum ARV, kekebalan tubuh penderita akan naik dan kemungkinan untuk menularkan jauh lebih kecil," katanya.

Dengan adanya pokja, kata Suyetna, mucikari harus melaporkan jika ada anak buahnya yang baru dan harus menghubungi puskesmas atau LSM yang menangani AIDS. Jumlah pekerja seks di Denpasar diperkirakan mencapai seribu orang.

"Nanti kami yang memberikan penyuluhan. Demikian juga mereka harus menyiapkan anak buahnya ketika ada penyuluhan, menganjurkan anak buahnya memeriksakan infeksi menular seksual (IMS), harus menyediakan kondom dan menganjurkan pemakaiannya dan sebagainya yang menjadi kesepakatan dan ada sanksi," ujarnya.

Sementara itu berdasarkan data KPA Bali, jumlah penderita HIV/AIDS di Bali secara kumulatif dari 1987 hingga Maret 2013 mencapai 7.551 orang dengan perincian, kelompok berisiko biseksual (24), heteroksual (5.807), homoseksual (322), IDU (810), perinatal (226), tato (2), dan tidak diketahui (360).

Sumberhttp://www.republika.co.id










Tidak ada komentar:

Posting Komentar